Bismillah.
Kisah beberapa tahun silam.
Ada seorang anak perempuan usia remaja bermasalah di sekolah dan dirumah.
Bapaknya sangat kesal dan bertanya kepada anak tersebut "Kamu kenapa sih sebenernya?!"
Dan anak itu menjawab "Aku cuma pengen bisa deket sama bapak kaya temen temen aku yang lain... Aku iri ngeliat mereka bisa akrab sama bapaknya..."
Lalu apa jawaban bapaknya?
"Jangan pernah berharap kaya gitu. Bapak udah cape kerja. Kalo mau cerita apa-apa sana sama ibu aja, kalo minta duit baru ngomong sama bapak!"
---------------
Hm, denger ceritanya jadi agak sedih dan prihatin ngebayangin gimana perasaan anak itu. Cari perhatian supaya bisa deket sama bapaknya, tapi ternyata ditolak. Bapaknya memang keliatannya tanggung jawab sih dalam hal finansial, tapi apakah tanggung jawab mendidik dan mengasuh anak sudah cukup hanya dengan uang?
Anak itu juga cerita kalo bapaknya galak banget, suka marah marah dan kalo udah marah ngomongnya kasar dan ga pantas. Mau deket cerita cerita juga jadi takut duluan. Tapi kalo lagi baik bisa manjain banget. Bikin perasaan anak jadi kaya roller coaster, ga stabil dan selalu waswas.
Di sisi lain, ibunya udah direpotin dengan pekerjaan rumah tangga. Buat dengerin keluh kesah dan curhatan anaknya juga udah berat banget kayanya, udah tinggal sisa sisa kekuatannya aja, dan kadang pake emosi juga. Mungkin tertekan juga karena si bapaknya begitu, si ibu juga ga bisa curhat sama siapa siapa.
Anak ini cerita kalo dari dulu dia ga pernah dibiasain untuk bantuin kerjaan rumah, ga dibolehin karena takut makin berantakan dan bikin kerja dua kali. Akhirnya ibunya jadi cape sendiri, ayahnya juga cape, dan anaknya jadi serba salah.
Makin besar anak ini dituntut untuk bisa bantuin, tapi dari kecil ga pernah dibiasakan. Kalo salah ngelakuin apa apa, langsung diomelin. Bener-bener serba salah. Ga ada pembiasaan, ga ada proses belajar, tapi pengen perfect, aneh ga sih?
Setelah ditelusuri, ternyata bapaknya ini punya masalah traumatis saat kecil yang enggan diungkap. Memilih menutupi, namun tanpa sadar diluapkan ke anak dan istrinya saat ia sedang emosi. Jadi boro-boro mau berakhlak baik atau menanamkan nilai-nilai keislaman dalam keluarganya, perilakunya sendiri pun tidak bisa ia kontrol.
Dan sekarang, setelah bertahun tahun yang lalu, anak itu tumbuh dengan mental yang rapuh, berdaya juang lemah, tidak peka dengan sekitar, mudah depresi dan putus asa.
Sudah terlambat? Belum. Masih ada kesempatan bagi orangtua untuk memperbaiki, yang salah itu kalau tidak mau memulai.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah ini?
- Merawat anak bukan hanya tugas ibu, tapi juga bapak yang sangat berperan, terutama dalam hal psikologisnya. Tanggungjawab bapak bukan cuma cari nafkah ya pak, tapi juga mendidik dengan hati, menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan kondusif untuk keluarganya.
Selalu sisipi nilai-nilai tauhid saat sedang berbincang dengan anak.
- Sebagai orangtua, harus jujur pada diri sendiri, menerima kekurangan diri dan berusaha memperbaiki, bukan ditutupi atau diabaikan. Karena akan mempengaruhi sikap dalam mendidik dan mengasuh anak.
Putus mata rantai kesalahan dalam pengasuhan anak. Karena orangtua yang pemarah akan menghasilkan anak yang pemarah pula.
- Orangtua juga harus belajar untuk bisa bersahabat dengan anak. Dengarkan cerita dan keluhannya tanpa penghakiman, posisikan seolah olah kita ada diposisinya. Anak anak masa peralihan yang sedang mencari jati diri butuh didampingi, diarahkan dan dibimbing dengan penuh kasih sayang.
- Sejak dini anak harus dilatih untuk menguasai practical life skill seperti menyapu, mengepel, cuci piring, lipat baju, membereskan meja dsb, karena keterampilan seperti itu tidak bisa dibangun dalam semalam, tapi harus dibina dan dipupuk terus menerus.
- And the last but not least, memohon pertolongan Allah. Hanya Allah yang mampu membolak balikkan hati. Banyak banyak mohon ampun dan bertaubat.
Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Wallahu a'lam.
#catatan kecil
#belajar bareng
Kisah beberapa tahun silam.
Ada seorang anak perempuan usia remaja bermasalah di sekolah dan dirumah.
Bapaknya sangat kesal dan bertanya kepada anak tersebut "Kamu kenapa sih sebenernya?!"
Dan anak itu menjawab "Aku cuma pengen bisa deket sama bapak kaya temen temen aku yang lain... Aku iri ngeliat mereka bisa akrab sama bapaknya..."
Lalu apa jawaban bapaknya?
"Jangan pernah berharap kaya gitu. Bapak udah cape kerja. Kalo mau cerita apa-apa sana sama ibu aja, kalo minta duit baru ngomong sama bapak!"
---------------
Hm, denger ceritanya jadi agak sedih dan prihatin ngebayangin gimana perasaan anak itu. Cari perhatian supaya bisa deket sama bapaknya, tapi ternyata ditolak. Bapaknya memang keliatannya tanggung jawab sih dalam hal finansial, tapi apakah tanggung jawab mendidik dan mengasuh anak sudah cukup hanya dengan uang?
Anak itu juga cerita kalo bapaknya galak banget, suka marah marah dan kalo udah marah ngomongnya kasar dan ga pantas. Mau deket cerita cerita juga jadi takut duluan. Tapi kalo lagi baik bisa manjain banget. Bikin perasaan anak jadi kaya roller coaster, ga stabil dan selalu waswas.
Di sisi lain, ibunya udah direpotin dengan pekerjaan rumah tangga. Buat dengerin keluh kesah dan curhatan anaknya juga udah berat banget kayanya, udah tinggal sisa sisa kekuatannya aja, dan kadang pake emosi juga. Mungkin tertekan juga karena si bapaknya begitu, si ibu juga ga bisa curhat sama siapa siapa.
Anak ini cerita kalo dari dulu dia ga pernah dibiasain untuk bantuin kerjaan rumah, ga dibolehin karena takut makin berantakan dan bikin kerja dua kali. Akhirnya ibunya jadi cape sendiri, ayahnya juga cape, dan anaknya jadi serba salah.
Makin besar anak ini dituntut untuk bisa bantuin, tapi dari kecil ga pernah dibiasakan. Kalo salah ngelakuin apa apa, langsung diomelin. Bener-bener serba salah. Ga ada pembiasaan, ga ada proses belajar, tapi pengen perfect, aneh ga sih?
Setelah ditelusuri, ternyata bapaknya ini punya masalah traumatis saat kecil yang enggan diungkap. Memilih menutupi, namun tanpa sadar diluapkan ke anak dan istrinya saat ia sedang emosi. Jadi boro-boro mau berakhlak baik atau menanamkan nilai-nilai keislaman dalam keluarganya, perilakunya sendiri pun tidak bisa ia kontrol.
Dan sekarang, setelah bertahun tahun yang lalu, anak itu tumbuh dengan mental yang rapuh, berdaya juang lemah, tidak peka dengan sekitar, mudah depresi dan putus asa.
Sudah terlambat? Belum. Masih ada kesempatan bagi orangtua untuk memperbaiki, yang salah itu kalau tidak mau memulai.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah ini?
- Merawat anak bukan hanya tugas ibu, tapi juga bapak yang sangat berperan, terutama dalam hal psikologisnya. Tanggungjawab bapak bukan cuma cari nafkah ya pak, tapi juga mendidik dengan hati, menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan kondusif untuk keluarganya.
Selalu sisipi nilai-nilai tauhid saat sedang berbincang dengan anak.
- Sebagai orangtua, harus jujur pada diri sendiri, menerima kekurangan diri dan berusaha memperbaiki, bukan ditutupi atau diabaikan. Karena akan mempengaruhi sikap dalam mendidik dan mengasuh anak.
Putus mata rantai kesalahan dalam pengasuhan anak. Karena orangtua yang pemarah akan menghasilkan anak yang pemarah pula.
- Orangtua juga harus belajar untuk bisa bersahabat dengan anak. Dengarkan cerita dan keluhannya tanpa penghakiman, posisikan seolah olah kita ada diposisinya. Anak anak masa peralihan yang sedang mencari jati diri butuh didampingi, diarahkan dan dibimbing dengan penuh kasih sayang.
- Sejak dini anak harus dilatih untuk menguasai practical life skill seperti menyapu, mengepel, cuci piring, lipat baju, membereskan meja dsb, karena keterampilan seperti itu tidak bisa dibangun dalam semalam, tapi harus dibina dan dipupuk terus menerus.
- And the last but not least, memohon pertolongan Allah. Hanya Allah yang mampu membolak balikkan hati. Banyak banyak mohon ampun dan bertaubat.
Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Wallahu a'lam.
#catatan kecil
#belajar bareng
Comments
Post a Comment